Kamis, 14 April 2011

Obrolan Ringan di Atas Speedboat

Muara Teweh - Pulang dari kunjungan ke Desa Sikan Kecamatan Montallat bersama Anggota DPRD Komisi A Kabupaten Barito Utara, Kamis (14/4) sekitar pukul 15.00 WIB. Aku begitu gelisah, sebab pada pukul 16.00 WIB seharusnya aku sudah mengirimkan berita hasil liputan ke Redaksi Kalteng Pos untuk mengisi kolom Barito Utara.
Sudah pasti tidak akan sempat sebab perjalanan pulang ke Muara Teweh ini memakan waktu kurang lebih 2,5 jam. Akhirnya aku mengirim berita melalui SMS saat berada di speedboat kepada Bang Dadang untuk mengetikkannya lalu selanjutnya mengirimkannya ke Redaksi. Namun, aku tetap gelisah karena permasalahan foto yang tidak dapat dikirim. Belum lagi kendala sinyal handphone yang tidak stabil sehingga SMS seringkali terkendala.
Berita terkirim. Lalu aku memberitahukan kepada Bang Dadang kalau foto nanti menyusul dan akan aku kirim ketika sudah sampai di Muara Teweh.
Ternyata, setelah melintas dari sebuah desa yang ada di pinggir Sungai Barito, yakni Desa Lemo tiba-tiba speedboat kami mogok. Setelah dicek, minyaknya habis. Kami pun terapung di tengah-tengah Sungai Barito. "Ini adalah Teluk Tahuntang," kata Lister Gobeth, warga asli Desa Lemo, yang saat ini duduk menjadi anggota DPRD Barito Utara Komisi A.
Saat itu, yang dapat kami lakukan hanyalah menunggu kalau ada yang warga melintasi di teluk tempat kami mengapung. Saat ku lihat, jam sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Harapanku untuk dapat mengirimkan foto setelah sampai di Muara Teweh pupus. Pasti tidak terkejar karena untuk halaman Barito Utara, pada pukul 18.00 WIB sudah naik cetak. Akhirnya aku melupakan rencanaku untuk mengirim foto hasil liputan.
Aku melihat-lihat pemandangan di sekitar. Tiba-tiba aku memandang ke sebuah bukit tinggi dengan hutan yang lebat. Semakin ku pandangi, semakin membuat aku tertarik untuk mengetahui tentang bukit tersebut. Aku pun bertanya kepada Lister Gobeth perihal bukit tersebut. "Hutan yang berada di bukit tersebut namanya Hutan Pararawen," ujar Lister Gobeth.
Lister menjelaskan, hutan Pararawen ini merupakan hutan suaka marga satwa yang menjadi habitat berbagai macam hewan dan tumbuhan yang dilindungi, seperti kancil, rusa, babi hutan beruang. Bahkan, pada tahun 1990 pemerintah pernah melepaskan sejumlah beruang dan juga harimau. "Saya lupa. Berapa jumlah beruang dan harimau yang dilepaskan. Selain beruang, macan tutul juga ada di hutan tersebut," jelas Lister.
Banyak pihak pengusaha yang menawarkan diri untuk melakukan eksploitasi di hutan tersebut. Namun, hal itu tidak diperbolehkan dikarenakan statusnya sebagai hutan suaka marga satwa. "Banyak yang mau mengeksploitasinya. Khususnya batu bara yang terkandung di hutan tersebut mencapai 8 kalori. Jadi itu adalah batu bara dengan kualitas sangat tinggi, karena tambang batu bara yang ada nilai kalorinya di bawah 7 dan rata-rata hanya 5 s/d 6 kalori," jelas Lister.
Selain sumber daya yang dikandung, ternyata hutan itu juga mempunyai cerita yang sudah melegenda di kalangan masyarakat. Yakni tentang keberadaan Sumur Ayang Sari yang berada di atas bukit tersebut.
Legenda rakyat itu menceritakan tentang seseorang bernama Tiung Gumba yang mempunyai istri Tiung Rewe dan mempuyai anak perempuan yang bernama Ayang Sari. Nama anak inilah kemudian diabadikan menjadi nama sumur yang ada di atas bukit hutan Pararawen. Lalu, pada suatu hari, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Tiung Gumba mencari ikan di Sungai Barito dengan cara meracuninya dengan akar Tuba atau menuba. Konon, karena kegiatan menuba tersebut, jangankan ikan, buaya pun menjadi terganggu sampai harus mengungsi ke daratan.
Saat malam hari, Tiung Gumba, dalam mimpinya bertemu dengan para buaya yang ada di Sungai Barito. Buaya tersebut mengancam akan membalas dendam atas perbuatannya terhadap anak cucunya kelak.
Merasa khawatir dengan keselamatan Ayang Sari, maka Tiung Gumba lalu membuat sumur di atas bukit. Hal ini dilakukan agar Ayang Sari tidak turun ke sungai.
Sampai pada suatu hari, Ayang Sari meminta kepada Tiung Gumba untuk membuatkannya mainan yang menyerupai buaya. Karena sayang terhadap anaknya, Tiung Gumba lalu membuatkan mainan sesuai permintaan Ayang Sari.
Tidak disangka mainan yang menyerupai buaya tersebut justru memanggil buaya, yang menurut kepercayaan masyarakat desa mempunyai roh. Lalu buaya Sungai Barito yang mengetahui keberadaan Ayang Sari lalu membuat terowongan menuju sumur tempat Ayang Sari bermain. Selanjutnya, menurut cerita, Ayang Sari berhasil dibunuh oleh buaya yang ada di Sungai Barito.
Terlepas benar tidaknya cerita tersebut, menurut Lister Gobeth, hutan Pararawen yang masih belum terjamah tangan manusia ini harus terus dilestarikan keberadaannya. Selain sumber daya alam yang dikandungnya, hutan ini juga menyimpan banyak cerita-cerita rakyat. "Oleh karenanya, kita berharap agar hutan tersebut terus lestari sampai anak cucu kita kelak, ujar Lister Gobeth.
Setelah lama menunggu, akhirnya ada warga yang melintas. Kami pun memintanya untuk membelikan bensin di desa terdekat. Tidak lama kemudian 20 liter bensin yang dibawa oleh warga tadi datang. Bagiku tidak penting darimana ia mendapatkannya. Namun yang penting kami dapat kembali melanjutkan perjalanan. Sekitar pukul 18.30 WIB kami baru sampai di pelabuhan speedboat tempat pertama kami bertolak.
Sambil pulang ke Kantor Biro Kalteng Pos yang berada tidak jauh dari pelabuhan speedboat, aku berpikir bahwa memang sudah seharusnya hutan-hutan yang ada di Kalteng dilestarikan. Bukan hanya untuk kepentingan saat ini, akan tetapi juga untuk kepentingan anak cucu kita kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar