
Ketika aku datang ke rumahnya Bang Tris, ternyata ia tidak ada di rumah. "Tunggu sebentar, biar di telpon," kata orangtuanya Bang Tris.
Tidak lama kemudian, Bang Tris datang menggunakan sepeda motor. "Ayo naik kita jalan-jalan," kata Bang Tris.
Tanpa pikir panjang, aku langsung naik ke sepeda motornya Bang Tris. "Mau ke mana kita bang," tanyaku. "Kita mau liat-liat gua yang dulunya tempat pejuang bersembunyi. Trus kita mandi ke Sungai Sanggrahan," ujar Bang Tris.
"Wah, kalo tau tadi saya bawa celana pendek bang," jawabku. "Pake celana panjang aja," ujar Bang Tris setengah memaksa.
Dalam hati aku tetap berpikir untuk tidak akan mandi, karena celana dan baju yang ku baru saja habis dicuci.
Tidak lama kendaraan kami berhenti di depan sebuah rumah yang tampak sudah tua. "Di mana kita ini bang." tanya ku. "Kita mau menuju ke gua dulu. Tapi kita menunggu dua orang anak kampung untuk ikut sebagai pemandu. Karena mereka sering masuk ke gua itu," jelas Bang Tris.
"Saya ngikut aj bang," jawab ku. Dalam hati aku bertanya-tanya, seperti apa sebenarnya gua ini. Tidak lama kemudian dua anak kampung yang ditunggu sudah datang. Kami berempat langsung menuju gua tersebut.
Kami pun berjalan menuju gua melewati rumah tua yang tadi. Tampak orangtua duduk di depan rumah melihat ke arah kami. Tapi pandangannya tidaklah menakutkan. "Bawa senter ga," tanya sang orangtua itu tadi dengan logatnya yang khas, yang sudah mengetahui kalau kami pasti akan ke gua. "Sudah mang," ujar Bang Tris.
Sebelum samapi di gua. Kami melewati jalan becek, di samping kiri kanan tampak pohon-pohon besar. Di antara pohon-pohon besar tersebut, dapat aku kenali kalau itu pohon durian atau duren. "Kalo musim duren gimana neh bang," tanya ku ke Bang Tris. "Banjir durian. Tinggal ambil saja. Tidak ada harganya. Dan kalo sudah tidak termakan, biasanya dibuat Lampok (dodol durian)," terang Bang Tris.
Kami pun tiba di depan gua. "Gua apa ini namanya bang," ujar ku. "Namanya Liang Tandan. Konon menurut cerita orangtua dahulu. Di sini tempat para pejuang bersembunyi. Dulu di sini ramai di kunjungi orang-orang. Namun, sekarang sudah jarang," jelas Bang Tris.
Saat mulai memasuki gua. Tercium bau tidak enak. Ternyata memang benar. Di gua ini menjadi sarangnya kelelawar. Di dinding gua yang tampak berair, saat ku amati dengan menggunakan senter pada handphone, ada banyak kelelawar yang bergelantungan. Di dalam gua yang gelap ini juga mengalir sungai kecil. Sesekali terlihat ikan berenang dengan cepat di sungai kecil tersebut.Tidak terlalu jelas jenis ikan apa. Tapi sekilas sepertinya ikan Lele.
Gua ini memiliki banyak celah-celah kecil beraturan yang saling berhubungan. Rasa penasaran pun muncul. Apakah gua ini sengaja dibuat, karena tampak rapi atau terbentuk dengan sendirinya. "Ini tidak dibuat ujar Bang Tris. Tetapi terbentu dengan sendirinya," jelas Bang Tris
Kurang lebih 30 menit berada di dalam gua membuat aku agak sedikit susah bernafas karena mencium bau tak sedap dari kotoran kelelawar tadi. Kami pun lalu keluar dari gua. "Nah seanjutnya kita mandi saja setelah keringan ditubuh mengering," ujar Bang Tris.
"Saya ga mandi bang. Saya melihat saja" sahut ku. "Terserah kamu," ujar Bang Tris. Kami lalu pergi ke lokasi sungai, tidak jauh dari gua. Tampak ada tempat duduk untuk bersantai. Kami berdua dengan Bang Tris lalu duduk di kursi tersebut. "Mau mandi di sini bang," tanya ku. "Bukan. Kita di sini hanya sekedar mengeringkan keringat," ujarnya. Namun, dua anak kampung yang sudah duduk di bangku SLTA itu, tampak berenang di sungai dangkal, berbatu, dan arus airnya bervariasi. Ada yang deras dan ada yang tenang.
"Ayo kita mandi," ujar Bang Tris dengan semangat. Ia pun lalu memanggil kedua anak kampung tadi untuk ikut. Dengan mengendarai sepeda motor tidak jauh dari sungai itu tadi kami lalu berhenti dekat Jembatan Sanggrahan. Lalu berjalan kaki menuruni bukit yang tidak terlalu tinggi.
Kami sampai di pinggir sungai, airnya tampak lebih deras dari sungai sebelumnya. Suara air menderu-deru namun tidak menyakitkan untuk di dengar. Berbeda dengan suara sepeda motor dengan knalpotnya yang bising. "Ini namanya Sungai Sanggrahan. Kamu lihat ada bekas jembatan itu," Bang Tris menunjuk ke arah seberang sungai dan memintaku untuk melihatnya. "Itu bekas peninggalan Belanda. Dulunya itu sebuah jembatan. Namun sudah hancur, yang tersisa hanya puing itu saja," jelas Bang Tris.
Bang Tris lalu membuka baju dan langsung menceburkan dirinya ke air. "Ayo turun," ujar Bang Tris memintaku. Lalu dengan pelan-pelan aku merendamkan kakiku sampai mata kaki. Maksudku hanya untuk merasakan seperti apa airnya. Ternyata begitu menyegarkan. Tanpa pikir panjang, aku pun membuka baju, meletakkan dompet beserta baju tadi dan langsung ikut menyeburkan diriku ke air. Terasa begitu menyegarkan. Saat arus air mengenai badan kita, seperti dipijit rasanya.
Kalo begini rasanya rugi tidak ikut mandi. Airnya lebih segar daripada air di Sungai Kahayan tempat aku dulu sering mandi.
Hari mulai gelap. Kami lalu bergegas untuk pulang. Sesampainya di rumah Bang Tris. Aku langsung mengambil sepeda motor dan langsung pulang juga. "Ri, aku mau ke Desa Konut dulu bersama istriku. Nanti malam kalau tidak sibuk main-main ke sana," sms dari Bang Tris. Desa Konut, terletak tidak jauh dari kediaman Bang Tris. "Iya bang. Besok kita mandi di Sanggrahan lagi yo bang," balasku. "Tadi awal-awal kamu tidak mau mandi. Sekarang malah mau ngajak lagi, ha ha ha. Oke lah, kalo tidak sibuk kita mandi di sungai lagi," sms balasan dari Bang Tris.