Jumat, 22 April 2011

Segarnya Air Pegunungan

PURUK CAHU - Awalnya tidak niat mandi, karena pada saat aku datang ke tempat Bang Tris (salah satu rekan wartawan dari media Dayak Post) menggunakan celana panjang jeans dan baju kaos biru berkerah, tidak lupa juga menemprotkan parfum di seluruh badan. Selain itu, di rumah aku juga sudah mandi. Dan datang ke rumah Bang Tris hanya untuk ngobrol saja.
Ketika aku datang ke rumahnya Bang Tris, ternyata ia tidak ada di rumah. "Tunggu sebentar, biar di telpon," kata orangtuanya Bang Tris.
Tidak lama kemudian, Bang Tris datang menggunakan sepeda motor. "Ayo naik kita jalan-jalan," kata Bang Tris.
Tanpa pikir panjang, aku langsung naik ke sepeda motornya Bang Tris. "Mau ke mana kita bang," tanyaku. "Kita mau liat-liat gua yang dulunya tempat pejuang bersembunyi. Trus kita mandi ke Sungai Sanggrahan," ujar Bang Tris.
"Wah, kalo tau tadi saya bawa celana pendek bang," jawabku. "Pake celana panjang aja," ujar Bang Tris setengah memaksa.
Dalam hati aku tetap berpikir untuk tidak akan mandi, karena celana dan baju yang ku baru saja habis dicuci.
Tidak lama kendaraan kami berhenti di depan sebuah rumah yang tampak sudah tua. "Di mana kita ini bang." tanya ku. "Kita mau menuju ke gua dulu. Tapi kita menunggu dua orang anak kampung untuk ikut sebagai pemandu. Karena mereka sering masuk ke gua itu," jelas Bang Tris.
"Saya ngikut aj bang," jawab ku. Dalam hati aku bertanya-tanya, seperti apa sebenarnya gua ini. Tidak lama kemudian dua anak kampung yang ditunggu sudah datang. Kami berempat langsung menuju gua tersebut.
Kami pun berjalan menuju gua melewati rumah tua yang tadi. Tampak orangtua duduk di depan rumah melihat ke arah kami. Tapi pandangannya tidaklah menakutkan. "Bawa senter ga," tanya sang orangtua itu tadi dengan logatnya yang khas, yang sudah mengetahui kalau kami pasti akan ke gua. "Sudah mang," ujar Bang Tris.
Sebelum samapi di gua. Kami melewati jalan becek, di samping kiri kanan tampak pohon-pohon besar. Di antara pohon-pohon besar tersebut, dapat aku kenali kalau itu pohon durian atau duren. "Kalo musim duren gimana neh bang," tanya ku ke Bang Tris. "Banjir durian. Tinggal ambil saja. Tidak ada harganya. Dan kalo sudah tidak termakan, biasanya dibuat Lampok (dodol durian)," terang Bang Tris.
Kami pun tiba di depan gua. "Gua apa ini namanya bang," ujar ku. "Namanya Liang Tandan. Konon menurut cerita orangtua dahulu. Di sini tempat para pejuang bersembunyi. Dulu di sini ramai di kunjungi orang-orang. Namun, sekarang sudah jarang," jelas Bang Tris.
Saat mulai memasuki gua. Tercium bau tidak enak. Ternyata memang benar. Di gua ini menjadi sarangnya kelelawar. Di dinding gua yang tampak berair, saat ku amati dengan menggunakan senter pada handphone, ada banyak kelelawar yang bergelantungan. Di dalam gua yang gelap ini juga mengalir sungai kecil. Sesekali terlihat ikan berenang dengan cepat di sungai kecil tersebut.Tidak terlalu jelas jenis ikan apa. Tapi sekilas sepertinya ikan Lele.
Gua ini memiliki banyak celah-celah kecil beraturan yang saling berhubungan. Rasa penasaran pun muncul. Apakah gua ini sengaja dibuat, karena tampak rapi atau terbentuk dengan sendirinya. "Ini tidak dibuat ujar Bang Tris. Tetapi terbentu dengan sendirinya," jelas Bang Tris
Kurang lebih 30 menit berada di dalam gua membuat aku agak sedikit susah bernafas karena mencium bau tak sedap dari kotoran kelelawar tadi. Kami pun lalu keluar dari gua. "Nah seanjutnya kita mandi saja setelah keringan ditubuh mengering," ujar Bang Tris.
"Saya ga mandi bang. Saya melihat saja" sahut ku. "Terserah kamu," ujar Bang Tris. Kami lalu pergi ke lokasi sungai, tidak jauh dari gua. Tampak ada tempat duduk untuk bersantai. Kami berdua dengan Bang Tris lalu duduk di kursi tersebut. "Mau mandi di sini bang," tanya ku. "Bukan. Kita di sini hanya sekedar mengeringkan keringat," ujarnya. Namun, dua anak kampung yang sudah duduk di bangku SLTA itu, tampak berenang di sungai dangkal, berbatu, dan arus airnya bervariasi. Ada yang deras dan ada yang tenang.
"Ayo kita mandi," ujar Bang Tris dengan semangat. Ia pun lalu memanggil kedua anak kampung tadi untuk ikut. Dengan mengendarai sepeda motor tidak jauh dari sungai itu tadi kami lalu berhenti dekat Jembatan Sanggrahan. Lalu berjalan kaki menuruni bukit yang tidak terlalu tinggi.
Kami sampai di pinggir sungai, airnya tampak lebih deras dari sungai sebelumnya. Suara air menderu-deru namun tidak menyakitkan untuk di dengar. Berbeda dengan suara sepeda motor dengan knalpotnya yang bising. "Ini namanya Sungai Sanggrahan. Kamu lihat ada bekas jembatan itu," Bang Tris menunjuk ke arah seberang sungai dan memintaku untuk melihatnya. "Itu bekas peninggalan Belanda. Dulunya itu sebuah jembatan. Namun sudah hancur, yang tersisa hanya puing itu saja," jelas Bang Tris.
Bang Tris lalu membuka baju dan langsung menceburkan dirinya ke air. "Ayo turun," ujar Bang Tris memintaku. Lalu dengan pelan-pelan aku merendamkan kakiku sampai mata kaki. Maksudku hanya untuk merasakan seperti apa airnya. Ternyata begitu menyegarkan. Tanpa pikir panjang, aku pun membuka baju, meletakkan dompet beserta baju tadi dan langsung ikut menyeburkan diriku ke air. Terasa begitu menyegarkan. Saat arus air mengenai badan kita, seperti dipijit rasanya.
Kalo begini rasanya rugi tidak ikut mandi. Airnya lebih segar daripada air di Sungai Kahayan tempat aku dulu sering mandi.
Hari mulai gelap. Kami lalu bergegas untuk pulang. Sesampainya di rumah Bang Tris. Aku langsung mengambil sepeda motor dan langsung pulang juga. "Ri, aku mau ke Desa Konut dulu bersama istriku. Nanti malam kalau tidak sibuk main-main ke sana," sms dari Bang Tris. Desa Konut, terletak tidak jauh dari kediaman Bang Tris. "Iya bang. Besok kita mandi di Sanggrahan lagi yo bang," balasku. "Tadi awal-awal kamu tidak mau mandi. Sekarang malah mau ngajak lagi, ha ha ha. Oke lah, kalo tidak sibuk kita mandi di sungai lagi," sms balasan dari Bang Tris.

Rabu, 20 April 2011

Puruk Bahio

Puruk Cahu - Bagi yang punya hobby bertualang dan climbing. Kabupaten Murung Raya dapat menjadi surganya para petualang. Ada banyak tempat eksotis yang belum terjamah atau jarang dikunjungi orang-orang. Salah satunya Puruk Bahio, perbukitan yang ada di Kabupaten Murung Raya merupakan tempat yang tepat untuk menguji nyali. Lembah yang terjal dan dalam serta susunan batu yang bergoyang saat kita pegang namun tetap kokoh membuat kita harus tetap ekstra hati-hati saat mendaki. Sekali terjatuh, mungkin nyawa akan melayang.
Puruk Bahio yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Uut Murung Kabupaten Murung Raya, berjarak 13 Km apabila kita tempuh melalui jalur sungai dengan menggunakan kelotok dan berjarak 25 Km apabila ditempuh dengan mengunakan jalur darat dengan menggunakan mobil double gardan. Melalui jalur air atau darat, akan memakan waktu sekitar 3 jam perjalanan untuk sampai ke lokasi.
Untuk sampai di puncak Puruk Bahio sendiri memakan waktu kurang lebih 3 jam pendakian. Di tengah-tegah perjalanan saat pendakian terdapat sebuah pondok kecil yang disediakan untuk beristirahat sejenak. Tidak tahu siapa yang membangun pondok kecil yang saat ini sudah mulai lapuk.
Sebaiknya pendakian dilakukan pada siang hari. Sebab apabila dilakukan pada siang hari, pada saat berada di puncak bukit akan terasa sangat panas. Namun, bagi yang sudah terbiasa, hal tersebut bukan masalah.
Saat berada di puncak, setelah lelah melakukan pendakian, kita akan merasakan kepuasaan yang luar biasa. Hembusan angin yang begitu memanjakan seakan membelai saat menerpa kulit kita yang berkeringat.
Sekarang tinggal berpikir bagaimana turunnya. Sebab mendaki dan menuruni bukit sama-sama lelah dan memakan waktu juga 3 jam. Kalau kita mendaki pada siang hari, pastinya pada saat menuruni bukit akan sampai pada sore atau malam hari. Oleh karena itu kita perlu pemandu untuk pulang atau kalau malas pulang malam hari. Kita dapat menginap di kampung atau desa terdekat.

Kamis, 14 April 2011

Obrolan Ringan di Atas Speedboat

Muara Teweh - Pulang dari kunjungan ke Desa Sikan Kecamatan Montallat bersama Anggota DPRD Komisi A Kabupaten Barito Utara, Kamis (14/4) sekitar pukul 15.00 WIB. Aku begitu gelisah, sebab pada pukul 16.00 WIB seharusnya aku sudah mengirimkan berita hasil liputan ke Redaksi Kalteng Pos untuk mengisi kolom Barito Utara.
Sudah pasti tidak akan sempat sebab perjalanan pulang ke Muara Teweh ini memakan waktu kurang lebih 2,5 jam. Akhirnya aku mengirim berita melalui SMS saat berada di speedboat kepada Bang Dadang untuk mengetikkannya lalu selanjutnya mengirimkannya ke Redaksi. Namun, aku tetap gelisah karena permasalahan foto yang tidak dapat dikirim. Belum lagi kendala sinyal handphone yang tidak stabil sehingga SMS seringkali terkendala.
Berita terkirim. Lalu aku memberitahukan kepada Bang Dadang kalau foto nanti menyusul dan akan aku kirim ketika sudah sampai di Muara Teweh.
Ternyata, setelah melintas dari sebuah desa yang ada di pinggir Sungai Barito, yakni Desa Lemo tiba-tiba speedboat kami mogok. Setelah dicek, minyaknya habis. Kami pun terapung di tengah-tengah Sungai Barito. "Ini adalah Teluk Tahuntang," kata Lister Gobeth, warga asli Desa Lemo, yang saat ini duduk menjadi anggota DPRD Barito Utara Komisi A.
Saat itu, yang dapat kami lakukan hanyalah menunggu kalau ada yang warga melintasi di teluk tempat kami mengapung. Saat ku lihat, jam sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Harapanku untuk dapat mengirimkan foto setelah sampai di Muara Teweh pupus. Pasti tidak terkejar karena untuk halaman Barito Utara, pada pukul 18.00 WIB sudah naik cetak. Akhirnya aku melupakan rencanaku untuk mengirim foto hasil liputan.
Aku melihat-lihat pemandangan di sekitar. Tiba-tiba aku memandang ke sebuah bukit tinggi dengan hutan yang lebat. Semakin ku pandangi, semakin membuat aku tertarik untuk mengetahui tentang bukit tersebut. Aku pun bertanya kepada Lister Gobeth perihal bukit tersebut. "Hutan yang berada di bukit tersebut namanya Hutan Pararawen," ujar Lister Gobeth.
Lister menjelaskan, hutan Pararawen ini merupakan hutan suaka marga satwa yang menjadi habitat berbagai macam hewan dan tumbuhan yang dilindungi, seperti kancil, rusa, babi hutan beruang. Bahkan, pada tahun 1990 pemerintah pernah melepaskan sejumlah beruang dan juga harimau. "Saya lupa. Berapa jumlah beruang dan harimau yang dilepaskan. Selain beruang, macan tutul juga ada di hutan tersebut," jelas Lister.
Banyak pihak pengusaha yang menawarkan diri untuk melakukan eksploitasi di hutan tersebut. Namun, hal itu tidak diperbolehkan dikarenakan statusnya sebagai hutan suaka marga satwa. "Banyak yang mau mengeksploitasinya. Khususnya batu bara yang terkandung di hutan tersebut mencapai 8 kalori. Jadi itu adalah batu bara dengan kualitas sangat tinggi, karena tambang batu bara yang ada nilai kalorinya di bawah 7 dan rata-rata hanya 5 s/d 6 kalori," jelas Lister.
Selain sumber daya yang dikandung, ternyata hutan itu juga mempunyai cerita yang sudah melegenda di kalangan masyarakat. Yakni tentang keberadaan Sumur Ayang Sari yang berada di atas bukit tersebut.
Legenda rakyat itu menceritakan tentang seseorang bernama Tiung Gumba yang mempunyai istri Tiung Rewe dan mempuyai anak perempuan yang bernama Ayang Sari. Nama anak inilah kemudian diabadikan menjadi nama sumur yang ada di atas bukit hutan Pararawen. Lalu, pada suatu hari, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Tiung Gumba mencari ikan di Sungai Barito dengan cara meracuninya dengan akar Tuba atau menuba. Konon, karena kegiatan menuba tersebut, jangankan ikan, buaya pun menjadi terganggu sampai harus mengungsi ke daratan.
Saat malam hari, Tiung Gumba, dalam mimpinya bertemu dengan para buaya yang ada di Sungai Barito. Buaya tersebut mengancam akan membalas dendam atas perbuatannya terhadap anak cucunya kelak.
Merasa khawatir dengan keselamatan Ayang Sari, maka Tiung Gumba lalu membuat sumur di atas bukit. Hal ini dilakukan agar Ayang Sari tidak turun ke sungai.
Sampai pada suatu hari, Ayang Sari meminta kepada Tiung Gumba untuk membuatkannya mainan yang menyerupai buaya. Karena sayang terhadap anaknya, Tiung Gumba lalu membuatkan mainan sesuai permintaan Ayang Sari.
Tidak disangka mainan yang menyerupai buaya tersebut justru memanggil buaya, yang menurut kepercayaan masyarakat desa mempunyai roh. Lalu buaya Sungai Barito yang mengetahui keberadaan Ayang Sari lalu membuat terowongan menuju sumur tempat Ayang Sari bermain. Selanjutnya, menurut cerita, Ayang Sari berhasil dibunuh oleh buaya yang ada di Sungai Barito.
Terlepas benar tidaknya cerita tersebut, menurut Lister Gobeth, hutan Pararawen yang masih belum terjamah tangan manusia ini harus terus dilestarikan keberadaannya. Selain sumber daya alam yang dikandungnya, hutan ini juga menyimpan banyak cerita-cerita rakyat. "Oleh karenanya, kita berharap agar hutan tersebut terus lestari sampai anak cucu kita kelak, ujar Lister Gobeth.
Setelah lama menunggu, akhirnya ada warga yang melintas. Kami pun memintanya untuk membelikan bensin di desa terdekat. Tidak lama kemudian 20 liter bensin yang dibawa oleh warga tadi datang. Bagiku tidak penting darimana ia mendapatkannya. Namun yang penting kami dapat kembali melanjutkan perjalanan. Sekitar pukul 18.30 WIB kami baru sampai di pelabuhan speedboat tempat pertama kami bertolak.
Sambil pulang ke Kantor Biro Kalteng Pos yang berada tidak jauh dari pelabuhan speedboat, aku berpikir bahwa memang sudah seharusnya hutan-hutan yang ada di Kalteng dilestarikan. Bukan hanya untuk kepentingan saat ini, akan tetapi juga untuk kepentingan anak cucu kita kelak.

Pertama Kalinya Aku Meluncur di Atas Sungai Barito

Muara Teweh - Hari ini, Kamis (14/4) aku diajak oleh DPRD Barito Utara untuk mengunjungi Desa Sikan Kecamatan Montallat. "Jaraknya tidak terlalu jauh. Kamu ikut saja. Paling-paling pukul 14.00 WIB kita sudah samapai di Teweh lagi," ujar Ketua Komisi, H Tajeri SE MM SH MH. Mendengar hal tersebut, aku pun memutuskan untuk ikut.
Sekitar pukul 09.00 WIB kami pun bertolak dari pelabuhan speedboat Muara Teweh. Dalam hati aku berkata: "Sudah lama aku tidak naik kendaraan air ini". Sambil berpikir sudah berapa lama aku tidak menaikinya sejak terakhir perjalananku ke Kuala Jelai Kabupaten Sukamara dengan speedboat, mungkin sudah sekitar 5 tahun.
Kami pun berangkat. Jumlahnya ada 10 orang. 5 orang dari anggota dewan, 2 orang warga Desa Sikan, 2 orang wartawan termasuk diriku, dan 1 orang juru kemudi. Saat diperjalanan tampak begitu menyenangkan karena dapat melihat indahnya pemadangan hutan serta bukit yang dilalui. Selain itu, begitu menyedihkan karena di antara berlimpahnya sumber daya alam yang dimiliki Kabupaten Barito Utara ini, ternyata masih ada rumah-rumah kecil yang mengapung dipinggir sungai. Tampak salah satu pemiliknya yang lusuh mandi di lanting rumahnya berikut anak-anaknya yang masih kecil. Sepertinya, mereka ini tidak ikut menikmati dari kekayaan alam yang melimpah, yang berada di sekitar mereka karena dikuasai oleh tangan-tangan pengusaha.
Sekitar 2,5 jam perjalanan, akhirnya kami pun sampai di Desa Sikan. Senyum mengembang dari warga menyambut kedatangan kami. Tampak dari wajah mereka begitu berharap kedatangan anggota dewan ini dapat mengakhiri permasalahan yang sejak tahun 2006 sudah terjadi dan mulai memuncak sejak 3 tahun terkahir. Yakni permasalahan tata batas antara Desa Sikan Kecamatan Montallat dengan Desa Malungai Kecamatan.
Baru-baru ini, Bupati Barito Utara, Achmad Yuliansyah, mengeluarkan keputusan pada tanggal 22 November 2010, yang memutuskan wilayah konflik tersebut termasuk wilayah Desa Malungai. Keputusan ini dirasa begitu merugikan warga Desa Sikan. Sebab daerah tersebut dikuasai oleh PT Antang Ganda Utama dengan membuka lahan sawit di areal perkebunan rakyat.
Kedatangan anggota dewan ini adalah untuk meredam aksi warga yang semakin memanas. Rencananya warga desa ini akan melakukan aksi penutupan jalan di areal perkebunan sawit PT AGU.
Setelah berdialog dengan warga, Tajeri meminta agar warga mengurungkan niatnya untuk melakukan aksi tersebut. Sebab berpotensi memunculkan konflik. Tajeri berjanji akan memperjuangkan hak-hak warga Desa Sikan selama berada di jalan yang benar. Mendengar hal tersebut, warga sedikit lega dan membatalkan aksinya.
Dialog setelsai. Kami pun langsung pulang menuju Muara Teweh. Sebuah pengalaman yang tak terlupakanketika pertama kalinya aku meluncur di atas Sungai Barito, dengan menggunakan kendaraan yang bertahun-tahun sudah tidak pernah aku naiki.

Sabtu, 09 April 2011

Mengumpulkan Kepingan Yang Berserak

Muara Teweh – Aku Fahri atau akrab disapa Adri, lahir di Palangka Raya, 26 Januari 1984, 27 tahun silam. Aku dilahirkan dari pasangan Fahmi Azkia dan Saudah. Aku merupakan anak ke 2 dari 4 bersaudara. Simple, sederhana, namun agak suka berbasa-basi. That’s me.

Terlahir sebagai keluarga sedarhana membuat aku banyak belajar akan arti hidup. Terlebih lagi, aku orangnya suka melakukan perjalanan sehingga dapat melihat dan belajar lebih banyak. Selain banyak membaca, mungkin pelajaran yang sering ku dapatkan saat melakukan perjalanan, membuat aku tampak dewasa sebelum waktunya. Tapi itu tak masalah.

Ide untuk membuat tulisan-tulisan tentang perjalanan hidup yang ku lalui, sebenarnya sudah lama ku rencanakan. Namun, waktunya selalu saja kurang. Apalagi beberapa tahun lalu, saat aku bekerja di salah satu perusahaan pemerintah yang membuat aku sangat sibuk. Jadi tidak ada waktu untuk menulis.

Akan tetapi, sekarang aku dapat menulis dengan leluasa, karena memang menulis menjadi pekerjaan sehari-hariku. Ya, aku begitu menyukai pekerjaanku sebagai wartawan. Ada banyak peristiwa yang sudahku lalui dan sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Hernowo, editor Mizan, yang begitu memotivasi aku lewat tulisannya Mengikat Makna, yang intinya, JANGAN BIARKAN IDE-IDE YANG ADA TERLEWAT BEGITU SAJA. COBALAH UNTUK MENULISKANNYA. Hal ini sangat cocok denganku, yang sering pelupa. Jadi aku mencoba untuk menuliskan ide-ide yang ada walaupun tidak semua dapat dituliskan.

Terlepas dari itu, semua. Sebenarnya menuliskan apa yang ku alami adalah sebuah usaha untuk mengenali diriku sendiri. Atau dalam sebuah ungkapan dikatakan “Mengumpulkan kepingan-kepingan diriku yang berserak.” Hal ini juga sangat cocok dengan diriku yang melihat sebuah kehidupan ini adalah proses. Dan kehidupan ini dilihat dari bagaimana kita berproses.

Saat berproses, tidak semuanya benar dan sebaliknya, tidak semua salah. Saat kita tidak mempunyai orang lain yang dapat melihat aku yang salah atau aku yang benar. Maka lewat tulisan yang pernah ku buat, aku dapat melihat itu sebagai sebuah koreksi diri. Atau aku dapat menyebutnya sebagai rontgen yang dapat melihat apa yang salah dalam diri ku.

Aku kira itu, walaupun mungkin tidak sepenuhnya benar. Namun, setiap orang sepertinya harus menemukan jati dirinya masing-masing dengan jalannya masing-masing. Dan aku mencoba untuk aku mencoba untuk menemukan diriku lewat tulisan.